Tulang Bawang – Polsek Menggala, Polres Tulang Bawang, Polda Lampung, memberikan edukasi sejak dini kepada para pelajar sekolah menengah atas (SMA) yang ada di wilayah hukumnya terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO), serta perlindungan perempuan dan anak (PPA).
Kegiatan edukasi ini berlangsung hari Rabu (22/11/2023), pukul 10.30 WIB s/d selesai, di SMA Negeri 1 Menggala, Jalan Cendana, Kelurahan Menggala Selatan, Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang.
“Hari ini, personel kami dari Unit Reskrim Polsek memberikan edukasi kepada para pelajar di SMA Negeri 1 Menggala terkait tindak pidana TPPO dan PPA,” kata Kapolsek Menggala, AKP Sunaryo, mewakili Kapolres Tulang Bawang, AKBP Jibrael Bata Awi, SIK.
Lanjutnya, dalam kegiatan ini diikuti oleh 130 orang pelajar yang terdiri dari 90 perempuan, dan 40 laki-laki. Mereka semua merupakan pelajar kelas XII di SMA Negeri 1 Menggala, Kelurahan Menggala Selatan.
Kapolsek menerangkan, yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
“TPPO memiliki berbagai jenis modus operandi dan eksploitasi. Ada lima jenis eksploitasi TPPO yang paling sering ditemukan yakni eksploitasi seksual, pengantin pesanan, eksploitasi tenaga kerja di bidang perikanan, eksploitasi anak, eksploitasi pekerja migran Indonesia (PMI), dan eksploitasi berupa transplantasi organ,” terang perwira dengan balok kuning tiga dipundaknya.
Pertama, eksploitasi seksual, modus operandinya berupa paksaan fisik dan psikis, perubahan dari praktik rumah bordil ke fasilitas akomodasi pribadi, maraknya tren mucikari perempuan, pendekatan melalui media sosial, perkawinan, adanya janji untuk bekerja di area pariwisata, dan adanya janji program pertukaran pelajar.
Kedua, pengantin pesanan, modus operandinya berupa janji akan hidup dengan mapan, menikah dan tinggal dengan warga negara asing (WNA), pernikahan bisa dilakukan secara resmi atau tidak resmi di negara asal suami, perantara mendekati keluarga untuk mendukung keputusan korban, dokumen identitas dan dokumen imigrasi korban dikuasi oleh suami, dan jika ingin pulang ke daerah asal diminta membayar ganti rugi kepada suami.
Ketiga, eksploitasi tenaga kerja di bidang perikanan, modus operandinya berupa tidak mewajibkan ijazah pendidikan tinggi hanya ijazah SD dan SMP, gaji yang ditawarkan sangat tinggi, tidak disyaratkan keahlian khusus, biaya rekrutmen dan penempatan dipotongkan dari gaji yang diperoleh, pemotongan gaji yang sangat besar, kecelakaan kerja tidak ditangani oleh pemberi kerja, dan mengalami kekerasan fisik serta verbal selama bekerja.
Keempat, eksploitasi anak, modus operandinya berupa perekrut membangun kedekatan psikologis dengan mengajak teman sebaya, perekrut mendekati korban menggunakan media sosial, perekrut mendekati anggota keluarga korban dan membujuk pihak keluarga untuk mengizinkan korban bekerja atau menikah, perekrut menyepakati sejumlah uang dengan keluarga korban namun pembayaran tidak dilakukan secara lunas, korban memperolah fasilitas yang cukup mewah yang kemudian menjadi hutang, korban ditawari program beasiswa atau program pelatihan keahlian yang menggiurkan, dan korban ditawari pekerjaan dengan gaji yang sangat tinggi serta syarat yang mudah.
Kelima, eksploitasi pekerja migran Indonesia (PMI), modus operandinya berupa perekrutan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di luar negeri dengan janji gaji yang besar, adanya tes kesehatan yang asal dilakukan dan korban diberi uang fit sebagai bentuk penjeratan hutang, tidak diberikan pelatihan yang formal di balai latihan kerja atau tempat pelatihan lainnya yang terverifikasi oleh Pemerintah, korban tidak memperoleh pelatihan bahasa atau orientasi sebelum bekerja di luar negeri, apabila korban ingin mengundurkan diri, korban harus membayar uang ganti rugi dalam jumlah yang sangat banyak, korban sering kali bekerja dengan jam kerja yang sangat lama, korban mengalami penyiksaan/penganiayaan, dan gaji korban tidak dibayarkan oleh majikannya.
Keenam, eksploitasi berupa transplantasi organ, modus operandinya berupa pendekatan oleh pelaku secara personal atau diiklankan di media sosial, ditawarkan nominal yang cukup tinggi padahal harga tersebut sangat tidak layak jika dibandingkan dengan nilai organ, diajak melakukan tes kesehatan dengan dokter yang menerima praktik ilegal, data pasien dalam rekam medis cenderung dirahasiakan, pelaku tidak membayar korban dengan sejumlah uang yang dijanjikan, dan tidak dilakukan pengecekan kondisi kesehatan pasca operasi.
AKP Sunaryo menambahkan, tujuan dari edukasi sejak dini kepada para pelajar SMA ini adalah agar mereka menjadi paham dan mengerti tentang TPPO dan perlindungan PPA. Untuk pemberantasan TPPO sudah sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007. (Red)